Minggu, 02 Desember 2012


Bolehkah Menggunakan Barang Gadaian?


Pertanyaan :
Ust, Bila ada yang menggadaikan barang kepada saya, apa saya bisa gunakan untuk suatu keperluan? misal, motor untuk antar jemput.
Jawaban :
Gadai dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah Ar-Rahn yang berarti : al-tsubut  ( tetap ) dan al-habs ( tahanan ). (Muhammad Abu Bakar ar Razi, Mukhtar as Shihah, Kairo, Dar al Hadist, 2002 M, hlm : 151). Ini sesuai dengan firman Allah swt :
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
“ Tiap-tiap diri bertanggung jawab  ( tertahan )  atas apa yang telah diperbuatnya. “ ( Qs Al Mudatsir : 38)
Adapun Gadai secara Istilah bisa diartikan : pinjam meminjam uang dengan menyerahkan barang dan dengan batas ( bila telah sampai waktunya tidak ditebus, barang tersebut menjadi hak orang yang memberi pinjaman ). ( WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, 1976, hlm. 286 )
Dalam literatur Fiqh, Gadai ( ar Rahn ) diartikan dengan :  menjadikan barang sebagai jaminan dari hutang, sebagai pengganti jika hutang tersebut tidak bisa dibayar ( al Khotib asy Syarbini, Mughni al Muhtaj, Beirut Dar Al Kutub al Ilmiyah, juz :3, hlm : 38 )
Dasar Pegadaian adalah firman Allah swt :
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ  وَلاَ تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ ءَاثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” ( Qs Al- Baqarah : 283 )
Dalil dari as-sunnah adalah hadist Aisyah Ra, bahwasanya ia berkata :
اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“ Bahwasanya  Rasulullah saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi yang akan dibayar pada waktu tertentu di kemudian hari dan beliau menggadaikannya dengan baju besinya.” ( HR Bukhari, no 1926)
Hukum Gadai
Mayoritas ulama berpendapat bahwa gadai itu dibolehkan , baik pada waktu tidak bepergian dan waktu bepergian, baik ada penulisnya atau tidak ada, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah  saw. yang menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi di Madinah.
Adapun Mujahid dan Madzhab Dhohiriyah berpendapat, bahwa gadai itu tidak dibolehkan  kecuali pada saat bepergian dan pada saat tidak ada petugas yang menulsi transaksi tersebut. Dalil mereka adalah firman Allah swt  Qs .al-Baqarah ayat 283 di atas ( al Mawardi, al Hawi al Kabir, Beirut Daar Al Kutub Al Ilmiyah, Juz : 6 , hlm : 4-5 )
Hukum Menggunakan Barang Gadaian.
Ada dua pihak yang menggunakan barang gadaian :
Pertama : Jika yang menggunakan barang gadaian itu adalah orang yang menerima gadai. Ini mempunyai tiga keadaan :
Keadaan Pertama : Jika penerima gadai ( murtahin ) menggunakan barang gadaian tersebut tanpa imbalan standar, maka hal itu diharamkan karena termasuk dalam katagori riba.  Berkata Ibnu Qudamah :
( فإن أذن الراهن للمرتهن في الانتفاع بغير عوض ، وكان دين الرهن من قرض ،لم يجز ، لأنه يحصل قرضا يجر منفعة ، وذلك حرام)
“ Jika ar rahin ( pemilik barang gadai )  mengijinkan bagi murtahin ( pemegang gadai ) untuk memanfaatkan barang gadai tersebut  tanpa ada imbalan, sedang ar rahin berhutang kepada  al murtahin, maka hal ini tidak boleh, karena hutang yang memberikan manfaat bagi yang memberikan utang, sehingga masuk dalam katagori riba . “( Al Mughni : 4/431)
Keadaan Kedua : Jika murtahin memanfaatkan barang gadai tadi dengan imbalan yang standar, maka para ulama berbeda pendapat : mayoritas ulama tidak membolehkannya, sedang Madzhab Hanabilah membolehkannya, karena yang demikian itu masuk dalam katagori akad sewa, dan bukan termasuk memanfaatkan barang gadaian
Keadaan Ketiga : Jika barang gadai tersebut membutuhkan biaya perawatan, maka biayanya ditanggung oleh ar rahin ( pemilik gadai tersebut ). Jika pegadai tidak memberikan biaya perawatan, maka penerima gadai yang mengeluarkan biaya perawatan, tetapi dia dibolehkan untuk menaikinya sesuai dengan biaya yang dikeluarkannya.  Dalilnya adalah hadist Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“”(Hewan) boleh dikendarai jika digadaikan dengan pembayaran tertentu, susu hewan juga boleh diminum bila digadaikan dengan pembayaran tertentu, dan terhadap orang yang mengendarai dan meminum susuny, ia wajib membayar”. (HR Bukhari, no : 2329)
Itu adalah pendapat sebagian ulama Hanabilah, tetapi mayoritas ulama tidak membolehkannya karenabaranggadaian tersebut bukan milik pemegang gadai. ( Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid, Beirut, Dar Al Kutub al Ilmiyah, 1988 :Juz : 2, hlm : 276)
Adapun hadist di atas dianggap mansukh dengan hadist Ibnu Umar yang menyatakan bahwa  tidak dibolehkan memerah susu kambing orang lain,kecuali dengan ijinnya. Bahkan Imam Mawardi menyatakan bahwa hadist di atas tidak ada kata-kata yang menerangkan bahwa yang menaiki dan memanfaatkan barang gadaian tersebut adalah pemegang gadai ( al murtahin) . Berkata Imam Mawardi : “ Dalam hadist di atas diterangkan bahwa biaya perawatan dibebankan kepada yang menaiki dan meminum susunya, padahal kewajiban perawatan dibebankan kepada rahin ( yang menggadaikan) bukan kepada murtahin ( yang menerima gadai.) “ ( Al Hawi al Kabir  : 6/14 ) Hal senada disampaikan juga oleh Ibnu Rusydi di dalam Bidayat al Mujtahid : 2/ 276 : “ Tidak benar kalau diartikan bahwa yang menaiki dan yang memerah susunya adalah pemegang gadai (al murtahin). “
Kedua : Jika yang menggunakan barang gadaian itu adalah pemiliknya (ar rahin).
Mayoritas ulama membolehkan  pemilik barang gadai untuk menggunaan barang gadaian,  jika hal itu tidak mengurangi harga barang tersebut, seperti menempati  rumahnya sendiri yang digadaikan , atau menaiki kudanya yang digadaikan . Tetapi menurut mayoritas ulama pemilik tersebut harus meminta ijin kepada murtahin ( pemegang gadai ). Adapun ulama Syafi’yah membolehkankannya secara mutlak,  walaupun tanpa  ijin murtahin ( pemegang gadai ).
Dalil kelompok ini adalah sabda Rasulullah saw :
لا يغلق الرهن من صاحبه له غنمه وعليه غرمه”. [رواه ابن ماجه ومالك وحسنه السيوطي.
“ Barang gadaian tidak boleh ditutup dari pemiliknya, pemiliklah yang akan mendapatkan keuntungan dan menerima kerugian dari barangtersebut . “ ( HR Ibnu Majah dan Malik dan di hasankan oleh Imam Suyuti)
Sedangkan  madzhab Malikiyah tidak membolehkan ar rahin ( pemilik gadai) untuk memnfaatkan barang gadaiaannya secara mutlak, walaupun dengan ijin pemegang gadai .
Kesimpulan :
Dari pembahasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa tidak boleh pemegang gadai memanfaatkan barang gadaian seperti sawah, motor, dan lain-lain, dalam bentuk apapun juga walaupun sudah diijinkan pemiliknya, karena hal itu termasuk riba yang diharamkan dalam Islam. Kecuali jika barang gadaian tersebut perlu biaya perawatan sedang pemiliknya tidak mau mengeluarkan biaya b  perawatan, sehingga biayanya  dibebankan kepada pemegang gadai, dalam keadaan seperti ini, menurut sebagian kecil ulama, dibolehkan pemegang gadai memanfaatkan barang gadaian tersebut sebesar biaya perawatan yang dikeluarkan. Tetapi mayoritas ulama tetap mengharamkannya secara mutlak.
Hal yang serupa pernah ditanyakan oleh para ulama yang terkumpul dalam Lajnah Daimah untuk Fatwa di Arab Saudi (14/177)  dan mereka menyatakan bahwa hukumnya haram, karena termasuk dalam katagori riba.  Wallahu A’lam
DR. Ahmad Zain An Najah, MA
(sumber: www.ahmadzain.com)

Rabu, 14 November 2012

MISSIONORIS MASUK ISLAM

Mengajak Teman Masuk Kristen Malah Menunjukkanku Pada Islam


Mengajak Teman Masuk Kristen Malah Menunjukkanku Pada Islam
Islam adalah doktrin yang paling logis yang tidak akan pernah ditemukan di agama lainnya.
Namaku Rasheed. Aku berasal dari Florida, Amerika. Usiaku 24 tahun. Aku masuk Islam pada Desember 2004, saat itu aku baru berumur 17 tahun. Saat ini ku bekerja sebagai tekhnisi lab mata.
Aku ingin bercerita tentang bagaimana aku masuk Islam, dan mungkin memberikan sedikit nasehat bagi mereka yang tengah mencari jalan hidupnya, InshaAllah.
Sama seperti anak gereja kecil lainnya, aku dibesarkan di Gereja Baptis daerah Selatan. Aku rajin mengunjungi gereja secara rutin, mempelajari injil dan melakukan pelayanan sehingga ku tahu kitabku. Aku tidaklah pintar, tetapi cukup mengetahui untuk seorang anak berusia 13 hingga 17 tahun ketika ku mempelajari agamaku.
Bagaimana Persepsiku Terhadap Islam
Sebelum memeluk Islam, aku sangat mengimani kepercayaan kristen akan trinitas, sebagaimana seorang Baptis dari Selatan, dan aku sangat teguh dengan kepercayaan ini. Aku tidak mengetahui banyak tentang Islam untuk memiliki pendapat. Ku pikir waktu itu semacam ketidakacuhan diri karena bagaimana media memberitakan tentang Islam. Sehingga ku tak ingin mengetahui Islam, ku takut akan apa yang mungkin aku pelajari jadi ku berpikir sebagaimana yang diberitakan oleh media pada dasarnya.
Mengetahui bahwa orang terdekat meninggalkan kepercayaan yang sangat aku cintai sangat membuatku tersinggung. Aku tidak tahu banyak tentang Islam, tetapi sebenarnya aku telah melakukan pekerjaan yang adil terhadap agama lain seperti budha, hindu dan hal itu kulakukan murni karena ketertarikan dan rasa ingin tahu terhadap budaya timur. Karena dibesarkan dengan kepercayaan kristen, mempelajari alkitab sehingga kita akan mendapatkan informasi dasar tentang Yahudi karena Perjanjian Lama tercantum dalam alkitab. Jadi, ku tahu sedikit mengenai Yahudi, hal-hal dasar tentang Hindu dan Budha, Taoisme meski tidak banyak, dan sedikit Shinto. Sehingga awalnya ku melihat dan mengetahui dasar-dasar agama-agama besar lainnya.
Ku tak pernah melakukan perjalanan untuk mencari kebenaran, karena dibesarkan di gereja secara teguh seperti yang kujalani, ku berpikir bahwa aku sudah menemukan kebenaran. Jadi yang sebenarnya terjadi adalah ada seorang teman sekolah yang ingin berpindah agama, saat itu kami adalah teman baik. Tetapi dibesarkan di lingkungan kristen, dan kemudian mengetahui bahwa seorang teman yang sama-sama bersekolah bersama meninggalkan agama yang kucintai, benar-benar membuatku terpukul mengapa ia memilih meninggalkan agama ini. Akhirnya aku menganggap hal itu secara pribadi seperti layaknya ku melakukan perang salib untuk membawanya kembali ke gereja, memberikannya kesaksian dan segala halnya, tapi tanpa mengetahui apapun tentang agama yang ia anut sekarang.
Aku melakukan usaha terbaikku, dan melalui apa yang harus kulakukan akhirnya yaitu meneliti Islam sendiri dan dengan bertanya padanya juga, sebagaimana nanti kita akan melakukan berbagai debat tentang doktrin-doktrin. Akhirnya kami banyak melakukan diskusi, dia banyak mengajariku berbagai hal tentang Islam, dan ku tak dapat berkata banyak karena ku tak mengetahui sebelumnya, semua hal tampak masuk akal bagiku, dan ku tak bisa berkata-kata. Ketika hal ini berlangsung, sebenarnya adalah misiku untuk membawanya keluar dari Islam, namun justru aku yang tertarik pada Islam, Alhamdulillah.
Yaa, aku tidak pergi mencari kebenaran seperti kebanyakan orang. Tetapi kukira Allah menunjukkanku pada Islam dengan cara-Nya, Alhamdulillah.
Hidup Setelah Islam
Ku bisa benar-benar jujur dan berkata bahwa hidupku belum sepenuhnya berubah karena bagaimana ku dibesarkan, seperti sering pergi ke gereja. Gaya hidupku tidak berubah banyak. Aku hanya menjalani ibadah-ibadah harian dan berhenti memakan babi.Ku tidak menikmati alkohol pada saat itu, sehingga ku tak perlu benar-benar meninggalkannya.
Mempercayai Tuhan dalam konsep trinitas aku selalu menerimanya karena itu yang kita percayai, tetapi au tidak memahaminya. Jadi jika kau tidak memahami akan sesuatu, bagaimana mungkin kau dapat mengatakan bahwa kau mempercayainya? Aku dapat mengatakannya dengan percaya diri bahwa ku tak pernah benar-benar percaya pada Konsep Tuhan yang tiga. Ku percaya adanya Tuhan, tetapi yang berubah adalah kepercayaanku terhadap Yesus, semoga keberkahan selalu bersamanya, dalam hubungannya terhadap Tuhan dan juga terhadap kita. Itulah yang benar-benar berubah.
Jalan Hidup Yang Lengkap
Jangan khawatir dan letakkan kepercayaan kita pada Tuhan. Dari lubuk hatiku yang harus kukatakan adalah lakukan saja, karena menurutku berbicara dengan alasan adalah satu-satunya cara dalam hidup yang harus orang ikuti. Ini adalah cara hidup yang paling lengkap yang tak akan ada di agama lainnya. Islam adalah ajaran yang paling logi, dan cara hidup yang dianjurkan sekaligus diperintahkan oleh Tuhan adalah cara hidup yang sempurna.
Saran saya hanya untuk memastikan bahwa apa yang Anda inginkan untuk diri Anda, lakukan saja. Jangan khawatir dan simpan kepercayaanmu pada Tuhan. Dan juga, jika Anda telah memiliki teman muslim dan saling berkomunikasi, mintalah padanya untuk mengajarkan Anda tentang Islam. Dan jangan malu untuk memintanya mengajak Anda ke mesjid yang biasa ia kunjungi dan berbicara dengan Imam atau dengan orang yang memiliki pengetahuan lebih tentang Islam dalam jemaah mereka.
Bagi Anda yang telah memutuskan untuk mengambil jalan ini, Selamat! Anda akan selalu ada dalam doa saya agar selalu diberi petunjuk dan kesuksesan di dalam hidup ini dan juga di akhirat kelak, kehidupan yang sesungguhnya.
Saran saya lainnya, waspadalah dari mana Anda mendapat informasi. Jangan terburu-buru bergabung dengan sebuah sekte yang menggembar-gemboran berbagai slogan dan hal lainnya. Pelajarilah informasi yang didapat, secara perlahan-lahan, ini adalah awal dari jalan kebenaran. Anda baru saja mulai. Anda tidak akan mendapat kebenaran yang utuh hanya dalam setahun. Gunakanlah waktu Anda. Pastikan untuk selalu memurnikan niat Anda, dan apapun yang kita lakukan hanya untuk Allah dan untuk beribadah pada-Nya.
Saudaraku seagama, dan semoga juga saudara-saudara muslimku yang baru, ku berharap apa yang kusampaikan dapat bermanfaat dalam cara apapun, IshaAllah, dan menginspirasi untuk memeluk Islam dan terus istiqomah dalam jalan ini.
Sebutlah ku dalam doa-doa kalian.[wn/onIslam]

MUALAF

Penyanyi Terkenal Rwanda: Sudah Lama Saya Belajar Islam dan Sekarang Saya Muslim


Lebih dari empat tahun lalu, Josiane Uwineza membuat keputusan yang mengubah hidupnya: ia masuk Islam.
Penyanyi, yang dikenal dengan nama panggung Miss Jojo tersebut menegaskan keputusan dirinya untuk masuk Islam tidak dilakukan dengan tergesa-gesa, dia telah mempelajari agama Islam untuk waktu yang lama dan sebagai seorang wanita, ia percaya Islam menawarkan nilai-nilai terkuat dalam iman.
Tapi begitu dia masuk Islam, segala sesuatu di sekelilingnya berubah. Sebagian besar penggemar menerima berita ini banyak yang skeptisis, menuduh dia masuk Islam untuk menyenangkan manajernya yang juga kekasihnya.
Namun penyanyi, yang mengubah namanya dari Josiane menjadi Iman, menegaskan bahwa memilih Islam adalah hal terbaik yang pernah dilakukannya.
“Saya tidak menyesal dalam hal ini,”ujarnya. “Meskipun semua pandangan negatif terhadap saya telah dihadapi sejak saya memeluk Islam, seluruh hidup saya telah berubah menjadi lebih baik. Saya telah berurusan dengan setiap situasi stres dengan tenang dan damai. Saya telah menemukan kekuatan batin baru dari agama saya,” kata Miss Jojo, 28 tahun.
Bintang “Siwezi enda” itu mengatakan keputusannya untuk masuk Islam atas keinginannya sendiri dan pacarnya hanya memainkan peran pendukung.
“Jujur, pacar saya tidak pernah meminta saya untuk masuk Islam tetapi orang-orang akan selalu mengatakan apa yang ingin mereka katakan,” kata Miss Jojo.
Lahir di Bugesera, provinsi timur Rwanda, Miss Jojo memegang gelar Bachelor of Arts dalam bahasa Inggris dari Universitas Nasional Rwanda.
Dia adalah artis R & B terkenal dan telah memenangkan penghargaan musik bergengsi lokal dan regional termasuk tahun 2007 National University of Rwanda Rector Excellence Award 2007, Best Female Artist dan PAM Awards 2008, Best Rwandan Female Artiste.
Selain karir musiknya, penyanyi Afrika ini terlibat dalam kegiatan kemanusiaan.
“Saat ini saya bekerja pada sebuah proyek untuk meningkatkan kesadaran HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkoba di kalangan anak-anak muda, serta mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam program-program pembangunan nasional,” kata Miss Jojo.(fq/allafrica)

Selasa, 27 Desember 2011

HINDUN BINTI UTBAH


animalinformations.blogspot.com
Wanita-Wanita Teladan: Hindun binti Utbah, Pejuang Perang Yarmuk
Ilustrasi

Wanita-Wanita Teladan: Hindun binti Utbah, Pejuang Perang Yarmuk

Senin, 11 Juli 2011 19:52 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Hindun binti Utbah termasuk di antara golongan perempuan yang baik dan cantik. Terkenal banyak ide, cerdas, fasih, pintar berbahasa, pandai dalam ilmu sastra dan juga bersyair. Dia juga mahir dalam menunggang kuda dan mempunyai kematangan jiwa yang mantap. Ia dinikahi oleh Abu Sufyan bin Harb.

Ketika terjadi Perang Badar, beberapa orang terbunuh seperti Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah dan Walid bin Utbah. Mereka yang meninggal itu adalah keluarga dekat Hindun. Ketika menerima kabar tersebut dia menangisi kematian mereka.

Pada saat Perang Uhud, Abu Sufyan ikut keluar dan menjadi salah seorang panglima pasukan Makkah. Dia berperang bersama Hindun yang tergabung dalam 15 orang wanita lainnya. Ketika dua pasukan berhadapan dan semakin berdekatan, Hindun berdiri di kalangan para wanita yang bersamanya, kemudian mereka mengambil gendang dan mulai menabuhnya di barisan belakang pasukan untuk memberi semangat.

Usai pertempuran, Hindun dan beberapa wanita yang bersamanya terdiam, lalu menghitung-hitung jumlah korban yang terbunuh dari pihak Muslimin. Mereka mendapatkan telinga dan hidung yang banyak. Dia mengambil beberapa potong telinga dan hidung kaum Muslimin sebagai gelang kaki, dan kalung.

Hindun juga merobek perut Hamzah, paman Rasulullah dan mengeluarkan hatinya, lalu mengunyahnya. Namun dia tidak mampu menelannya, sehingga memuntahkannya.

Berita ini kemudian disampaikan pada Rasulullah SAW. Nabi SAW bersabda, "Kalau saja dia menelannya, tentu dia tidak akan tersentuh api neraka, karena Allah mengharamkan bagi neraka untuk menyentuh bagian daging Hamzah sedikit pun."

Pada saat peristiwa Fathu Makkah (pembukaan kota Makkah) dengan masuknya pasukan kaum Muslimin secara damai di Kota Suci itu, Hindun menjadi salah seorang yang masuk Islam. Keislamannya ini dilakukan dengan baik.

Hal itu pernah dikatakannya pada Abu Sufyan, "Aku ingin menjadi pengikut Muhammad.

"Bukankah aku lihat kau kemarin begitu membencinya," kata Abu Sufyan.

"Sesungguhnya aku sebelumnya tidak pernah melihat orang yang beribadah pada Allah itu dengan benar hingga apa yang kusaksikan tadi malam. Demi Allah, mereka betah berdiri, ruku’ dan sujud."

"Jika kau tetap dengan keputusanmu maka laksanakanlah, pergilah membawa seorang dari kaummu untuk menemanimu," kata Abu Sufyan.

Kemudian Hindun berangkat menemui Rasulullah untuk berbaiat. Ia datang dengan menyamar menggunakan cadar, merasa takut bila kemudian Rasulullah menangkapnya setelah mengenal suaranya.

Saat itu banyak pula pria—termasuk Abu Sufyan—dan wanita yang datang berbaiat. Rasulullah didampingi oleh para sahabatnya.

Hindun berkata, "Wahai Rasulullah, segala puji bagi Allah yang telah menurunkan agama yang menjadi pilihan-Nya, agar dapat bermanfaat bagi diriku. Semoga Allah memberi rahmat-Nya padamu, wahai Muhammad. Sesungguhnya aku wanita yang telah beriman kepada Allah dan membenarkan apa yang disampaikan Rasul-Nya."

Rasulullah saw berkata, "Selamat datang bagimu."

"Demi Allah," kata Hindun, "Tiada sesuatu pun di muka bumi ini penduduk yang berdiam di tenda-tenda lebih aku cintai dari mereka selalu bersama dengan tendamu. Dan sungguh aku telah menjadi bagian dari itu. Dan tidak ada di muka bumi ini penduduk yang berdiam di tenda-tenda lebih aku cintai dari mereka yang selalu ingin dekat denganmu."

"Dan sebagai tambahan, bacakanlah pada kaum wanita Al-Qur'an. Kau harus bersumpah setia bahwa selamanya kau tidak akan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apa pun," pesan Rasulullah SAW.

"Demi Allah, sesungguhnya kau berhak menyuruh apa pun pada kami, apa yang diperintahkan pada kaum lak-laki dan kami akan menaatinya."

"Janganlah kau mencuri!"

"Demi Allah, jika aku memakai harta kepunyaan Abu Sufyan karena suatu keperluan, aku tidak tahu, apakah itu halal atau tidak?" tanya Hindun.

Rasulullah saw bertanya, "Benarkah kau Hindun binti Utbah?"

"Benar, saya Hindun binti Utbah, maka maafkanlah apa yang telah berlalu."

Kemudian Nabi bersabda, "Janganlah kau berzina!"

"Wahai Rasulullah, apakah budak yang telah bebas dianggap berzina?"

"Janganlah kalian bunuh anak-anakmu!"

"Sungguh kami telah merawat mereka sejak kecil dan mereka terbunuh pada Perang Badar setelah dewasa. Engkau dan mereka lebih tahu itu."

Umar bin Khathab tertawa mendengar jawaban Hindun. Nabi melanjutkan, "Janganlah kalian menyebarkan fitnah dan membuat berita bohong!"

"Demi Allah, sesungguhnya memelihara fitnah itu benar-benar perbuatan yang buruk dan merupakan perbuatan yang sia-sia."

"Dan janganlah kalian berbuat maksiat padaku terhadap perbuatan yang makruf!"

Hindun berkata, "Kami duduk di majelis ini bukan untuk berbuat maksiat terhadapmu dalam hal makruf."

Rasulullah SAW kemudian berkata pada Umar bin Khathab, "Baiat mereka semua, wahai Umar. Dan mintalah ampunan Allah bagi mereka!"

Umar lalu membaiat mereka. Rasulullah SAW tidak berjabat tangan dengan para wanita itu, dan tidak pula menyentuhnya kecuali wanita-wanita yang benar-benar dihalalkan oleh Allah bagi dirinya atau wanita yang menjadi muhrimnya.

Setelah menjadi Muslimah yang ahli ibadah; rajin shalat malam dan berpuasa. Ia sangat konsisten dengan status barunya tersebut sampai tiba saat yang membawa kegelapan bagi seluruh bumi ini, yaitu wafatnya Rasulullah SAW.

Hindun sangat terpukul, hatinya nyaris hancur, karena merasa terlalu lama dirinya memusuhi Rasulullah dan baru saja bisa menerima Islam. Namun demikian, ia tetap mempertahankan keislamannya dengan baik. Ia tetap menjadi seorang ahli ibadah dan menjaga janji setia yang pernah diucapkannya di hadapan Rasulullah.

Dalam Perang Yarmuk, Hindun mempunyai peran yang sangat besar. Ibnu Jarir berkata, ”Pada hari itu, kaum Muslimin bertempur habis-habisan. Mereka berhasil menewaskan pasukan Romawi dalam jumlah yang sangat besar. Sementara itu, kaum wanita menghalau setiap tentara Muslim yang terdesak dan mundur dari medan laga. Mereka berteriak, ’Kalian mau pergi ke mana? Apakah kalian akan membiarkan kami ditawan oleh pasukan Romawi?’ Siapa pun yang mendapat kecaman yang pedas seperti itu, pasti kembali menuju kancah pertempuran.”

Tentara Muslim yang sebelumnya hampir melarikan diri, kemudian bertempur kembali membangkitkan semangat pasukan yang lain. Mereka benar-benar terbakar oleh kecaman pedas yang diteriakkan oleh kaum wanita, terutama Hindun binti Utbah. Dalam suasana seperti itu, Hindun menuju barisan tentara sambil membawa tongkat pemukul tabuh dengan diiringi oleh wanita-wanita Muhajirin. Ia membaca bait-bait syair yang pernah dibacanya dalam Perang Uhud.

Tiba-tiba pasukan berkuda yang berada di sayap kanan pasukan Muslim berbalik arah, karena terdesak musuh. Melihat pemandangan tersebut, Hindun berteriak, ”Kalian mau lari ke mana? Kalian melarikan diri dari apa? Apakah dari Allah dan surga-Nya? Sungguh, Allah melihat yang kalian lakukan!”

Hindun juga melihat suaminya, Abu Sufyan, yang berbalik arah dan melarikan diri. Hindun segera mengejar dan memukul muka kudanya dengan tongkat seraya berteriak, ”Engkau mau ke mana, wahai putra Shakhr? Ayo, kembali lagi ke medan perang! Berjuanglah habis-habisan agar engkau dapat membalas kesalahan masa lalumu, saat engkau menggalang kekuatan untuk menghancurkan Rasulullah.”

Zubair bin Al-’Awwam yang melihat semua kejadian itu berkata, ”Ucapan Hindun kepada Abu Sufyan itu mengingatkanku kepada peristiwa Perang Uhud, saat kami berjuang di depan Rasulullah SAW.”

Pada masa pemerintahan Umar bin Khathab, setelah Hindun memberikan segala kemampuannya untuk membela agama yang agung ini, tibalah saat baginya untuk beristirahat. Ia meninggal di atas tempat tidurnya, pada hari di mana Abu Quhafah—ayahanda Abu Bakar Ash-Shiddiq—juga meninggal.

Hindun meriwayatkan beberapa hadits dari Rasulullah SAW. Beberapa orang meriwayatkan darinya seperti, Muawiyah bin Abu Sufyan (anaknya) dan Aisyah Ummul Mukminin.





Redaktur: cr01
Sumber: A'lamu An-Nisa dan sumber lain

Kamis, 06 Oktober 2011


Metode baru kuliah ilmu-ilmu keislaman: Hafal Al-Qur’an dan 8 induk kitab hadits dalam waktu 4 tahun

Saif Al Battar
Kamis, 6 Oktober 2011 06:11:50
Hits: 1157
Arrahmah.com – Setiap tahun, ribuan pondok pesantren di Indonesia melahirkan puluhan ribuan ustadz dan ustadzah baru. Setiap tahun pula, ratusan universitas, sekolah tinggi, dan akademi keislaman mewisuda ribuan sarjana muslim di berbagai bidang kehidupan. Dengan jumlah alumni yang mencapai puluhan ribu tersebut, mestinya kebutuhan tenaga ustadz/usadzah, mubaligh/mubalighah, murabbi/murabbiyah, dan calon ulama di tengah masyarakat bisa terpenuhi.
Ternyata harapan itu masih jauh dari kenyataan. Banyak alumni tersebut yang baru mampu menambah jumlah belaka, belum memiliki kwalitas yang dibutuhkan oleh lapangan dakwah dan tarbiyah. Banyak di antara alumni yang merasa belum memiliki ‘apa-apa’ meski sudah bertahun-tahun belajar nyantri atau kuliah. Tak sedikit alumni yang berkeinginan untuk belajar kembali, namun faktor waktu, biaya, jarak, sarana prasarana, usia, dan kesibukan dakwah seringkali menjadi kendala.
Untuk membantu niat shalih mereka dan demi memenuhi tuntutan dakwah di tengah masyarakat, arrahmah.com menurunkan artikel ulama yang menyodorkan solusi alternative atas problematika aktual di medan dakwah tersebut. Semoga bermanfaat bagi para alumni, calon alumni, aktivis dakwah, dan kaum muslimin seluruhnya.

Metode Baru Kuliah Ilmu-ilmu Keislaman:
Hafal Al-Qur’an dan 8 induk kitab hadits dalam waktu 4 Tahun

Oleh:
Syaikh Asy-Syahid, insya Allah, Yusuf bin Shalih Al-‘Ayiri

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد الله رب العالمين والصلاة والسلام على محمد بن عبد الله وعلى آله وصحبه أجمعين أما بعد.
Kepada saudara-saudara kami, para penuntut ilmu syar’i…
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Saya tuliskan beberapa halaman artikel ini khusus berkaitan dengan metode menuntut ilmu. Lebih baik apabila metode ini dipraktekkan oleh sekelompok pemuda agar mereka bisa saling membantu dalam kebajikan dan ketakwaan. Hal itu akan lebih mendorong mereka untuk melanjutkan belajar dan meraih pahala yang lebih besar. Saya berdoa kepada Allah semoga menjadikannya sebagai kebaikan dan memberi manfaat dengannya.
Allah SWT berfirman,
(وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ)
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. At-Taubah (9): 122)
Ayat ini merupakan dalil kewajiban menuntut ilmu sebagaimana kewajiban berjihad. Hukum kedua amalan ini fardhu kifayah. Hukum jihad dalam beberapa keadaan  menjadi fardhu ‘ain, demikian pula hukum menuntut ilmu dalam beberapa keadaan menjadi fardhu ‘ain. Saat hukum menuntut ilmu menjadi fardhu ‘ain atas umat ini dalam beberapa keadaan, maka berdosalah orang yang tidak menuntut ilmu atau tidak membantu orang yang menuntut ilmu saat ia memiliki kemampuan untuk membantu.
Saya tidak berbicara panjang lebar tentang hal ini, karena tujuan saya hanyalah mengingatkan kedudukan ilmu dan perintah menuntut ilmu sebagaimana halnya perintah untuk berjihad. Imam Al-Qurthubi saat menafsirkan ayat di atas menulis, “Ayat ini merupakan dasar kewajiban menuntut ilmu.” Beliau juga menulis, “Ayat ini mewajibkan untuk belajar mendalami Al-Qur’an dan as-sunnah, dan hukumnya fardhu kifayah, bukan fardhu ‘ain.”
Anda semua sudah mengetahui keutamaan orang yang berilmu dan peranannya terhadap masyarakat. Ilmu berkurang dengan meninggalnya para ulama, dan hal itu merupakan salah satu pertanda kiamat. Jika orang-orang bodoh menjadi pemimpin, mereka akan ditanya, lalu mereka memberi fatwa tanpa dasar ilmu sehingga mereka tersesat dan menyesatkan orang lain. Akibatnya kita semua binasa.
Barangsiapa ingin menempuh jalan menuntut ilmu maka hendaklah ia mengikuti metode salaf shalih dan tatacara mereka mendaki jenjang keilmuan sehingga mereka menjadi mercusuar dan pelita petunjuk. Ilmu sekali-kali bukanlah monopoli seseorang, kenyataannya hanyalah kita lebih lambat dari generasi salaf. Meski begitu, barangsiapa bersungguh-sungguh mencarinya, niscaya akan menggapainya seperti generasi salaf yang telah menggapainya. Karena ilmu adalah cahaya dari Allah yang akan Dia karuniakan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Sungguh Allah Maha Mengaruniakan karunia yang agung.
Para salaf shalih memulai pembelajaran dengan menghafal Al-Qur’an, lalu menghafal As-sunnah, dan memahaminya dengan pemahaman yang benar. Setelah itu mereka berijtihad berdasar pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an dan As-sunnah. Misalnya, syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa-nya menjelaskan bahwa ia beberapa kali membantah pendapat ulama generasi sebelumnya di bidang akidah padahal umurnya saat itu baru 11 tahun. Imam Malik mulai berfatwa saat umurnya baru 18 tahun. Imam Asy-Syaukani juga mulai memberi fatwa dalam umur yang sama. Contoh lainnya sangat banyak.
Sebenarnya menuntut ilmu itu mudah. Tidak perlu menakut-nakuti orang zaman sekarang. Jika kita menempuh jalan salaf shalih, niscaya kita juga akan mencapai apa yang berhasil mereka capai. Tak diragukan lagi, generasi salaf shalih tersebut adalah orang-orang yang berkonsentrasi penuh dalam mengadakan lawatan (kepada para ulama di berbagai negeri) dan menuntut ilmu. Mereka bukanlah para pegawai.
Adapun kita justru menyia-nyiakan waktu dalam mempelajari detail-detail kedalaman (spesialisasi) ilmu-ilmu alat, meskipun para ulama fiqih dan hadits menyusun ilmu-ilmu tersebut sebagai cara untuk memahami Al-Qur’an dan as-sunnah, bukan untuk menggantikan keduanya. Ilmu-ilmu tersebut hanyalah sarana, bukan tujuan. Sungguh sayang, di zaman kita hidup saat ini, orang yang menuntut ilmu menyia-nyiakan umur dan usahanya dalam menghafal pendapat para ulama dan fatwa-fatwa mereka, sebagai ganti dari menghafal Al-Qur’an dan as-sunnah. Cukuplah hal itu sebagai sebuah keburukan, meskipun Al-Qur’an dan as-sunnah diganti dengan menghafal pendapat-pendapat Abu Bakar dan Umar RA.
Di sini saya hendak menjelaskan dua hal;
Pertama, cara menghilangkan kendala-kendala dalam menuntut ilmu.
Kedua, lamanya masa menuntut ilmu lengkap dengan metode terperinci yang disarankan dan telah dipraktekkan.

Cara menghilangkan kendala-kendala dalam menuntut ilmu
Tidak diragukan lagi bahwa kendala terbesar bagi penuntut ilmu pada zaman sekarang adalah kendala waktu. Kebanyakan para pemuda yang berniat menuntut ilmu pada zaman sekarang bekerja selama tidak kurang dari tujuh (7) jam per hari. Ia baru pulang ke rumah pada waktu telah masuk adzan Ashar, dengan kondisi badan yang sangat capek. Sisa waktunya ia pergunakan untuk urusan keluarga dan urusan-urusan lain.
Untuk mengatasi kendala ini, saya sarankan solusi sebagai berikut:
  1. Memilih minimal sepuluh (10) orang pemuda alumni jurusan-jurusan ilmu syari’ah (tafsir, hadits, fiqih, tarbiyah, bahasa Arab dll—pent). Usia mereka maksimal dua puluh empat (24) tahun, memiliki kecerdasan, hafalan yang kuat, asal-usul yang baik dan mendapat rekomendasi (pernyataan bahwa ia orang yang baik—pent) dari kawan-kawan atau syaikh-syaikhnya, akhlaknya baik, tidak melakukan hal-hal yang remeh (tidak senonoh), dan yang paling penting memiliki tekad kuat untuk menuntut ilmu. Untuk itu perlu ditulis biodata singkat setiap calon murid, yang memuat catatan tentang hafalan, spesialisasi (jurusan) kuliah, syaikh-syaikh, dan aktivitas-aktivitas dakwahnya. Syarat lainnya ia tidak terikat dengan program-program selain program khusus pendalaman ilmu syar’i ini. Jika perlu boleh ditambahkan syarat-syarat lain yang mendukung kelayakan calon penuntut ilmu untuk mengikuti program ini.
  2. Kesepuluh orang penuntut ilmu tersebut mencurahkan waktunya selama empat tahun penuh untuk belajar. Mereka tidak harus belajar penuh kepada seorang ulama mujtahid, karena di zaman sekarang hal itu sangat sulit dilakukan. Cukuplah mereka datang kepada ulama tersebut setiap akhir enam bulan (akhir satu semester—pent) untuk ‘menyetorkan’ ringkasan pemahaman dan hafalan mereka. Seorang ulama atau penuntut ilmu senior sebaiknya mencurahkan waktunya sebagai pembimbing program mereka dan sebagai penilai tingkatan kemampuan mereka.
    Perlu disebutkan di sini bahwa konsentrasi (dalam belajar, mengawasi, membimbing, dan menilai program pembelajaran—pent) merupakan faktor yang berperan besar ‘menelurkan’ banyak ulama di zaman salaf maupun khalaf. Para ulama terdahulu biasanya belajar di sekolah-sekolah yang khusus mengkaji ilmu-ilmu syar’i. Mereka dibiayai dari harta sedekah dan zakat. Misalnya Madrasah Shalihiyah bagi para ulama madzhab Hambali, Madrasah Dar Al-Jauziyah, dan lain-lain. Sebelum semua madrasah tersebut berdiri, para shahabat Ahlus Shuffah juga telah mencurahkan waktu mereka untuk menuntut ilmu di masjid Nabawi. Mereka dibiayai dengan harta sedekah dan zakat karena mereka miskin dan berkonsentrasi dalam menuntut ilmu dan berjihad. Pemimpin mereka adalah imamnya seluruh hufazh, Abu Hurairah RA. Umar RA tidak ingat hadits tentang meminta izin sebanyak tiga kali saat bertamu, dan ia mengatakan penyebabnya adalah ‘Aku lupa hadits itu karena terlalu sibuk berdagang di pasar’. Maka para ahlus shufah yang fokus dalam kegiatan belajar dan melayani Nabi SAW seperti Ibnu Umar, Amar bin Yasir, Abu Musa Al-Asy’ari, Abu Sa’id Al-Khudri, dan lain-lain memiliki ilmu yang lebih banyak dibanding para sahabat lainnya. Maka jelaslah, menuntut ilmu memerlukan pencurahan segenap waktu dan kemampuan. Mencurahkan segenap waktu dan kemampuan merupakan manhaj nabawi salafi yang telah melahirkan banyak ulama dan hufazh. Generai kita telah didahului oleh generasi Islam terdahulu dalam melaksanakan manhaj ini. Sayang sekali, pada zaman sekarang kita meninggalkan metode ini. Justru metode ini sekarang diterapkan oleh orang-orang Yahudi di sinagog, orang-orang Nasrani di gereja-gereja (kapel dan sekolah seminari—pent), dan orang-orang Rafidhah di Husainiyah (sekolah-sekolah agama Rafidhah=hauzah ilmiyah—pent).
  3. Setiap bulan masing-masing penuntut ilmu tersebut diberi beasiswa (tunjangan) dengan nominal minimal sebesar 4000 riyal (sekitar 11 – 12 juta rupiah, dengan kurs saat ini 1 riyal: Rp 2750-3000, pent). Tunjangan setahun untuk setiap penuntut ilmu tersebut adalah 50.000 riyal (sekitar 121-132 juta rupiah). Untuk masa belajar 4 tahun, beasiswa untuk masing-masing penuntut ilmu tersebut adalah sebesar 200.000 riyal (sekitar 484-528 juta rupiah). Beasiswa bisa diambilkan dari proyek investasi bisnis yang laba 25 %nya diperuntukkan para penuntut ilmu tersebut. Atau beasiswa tersebut bisa juga diambilkan dari zakat mal kaum muslimin. Cara manapun yang akan dipakai, yang pasti diperlukan beasiswa untuk pengadaan buku-buku pelajaran dan kajian-kajian ilmiah, (termasuk asrama dan akomodasi harian—pent). Biaya ini tidak banyak apabila dibandingkan dengan hasil yang akan dipetik dari metode pembelajaran yang saya sarankan ini. Alangkah baiknya apabila mereka memiliki sendiri perpustakaan besar tempat mereka berkumpul untuk melakukan kajian, setoran (hafalan dan karya tulis—pent), dan diskusi.

Metode pembelajaran ilmiah yang disarankan
Setelah menyiapkan segala prasyarat yang diperlukan untuk menjalankan program khusus pembelajaran ilmu syar’i ini. Langkah berikutnya adalah menyusun metode pembelajaran yang tidak mengikuti sistem sekolah klasik (ponpes tradisional—pent) dan sekolah modern (sekolah negeri maupun swasta—pent). Sistem pembelajaran yang akan dijalankan adalah:
  1. Sistem pembelajaran yang tegak di atas dasar Al-Qur’an dan as-sunnah sesuai pemahaman generasi salaf shalih.
  2. Sistem pembelajaran yang tidak menekankan pada pendalaman dan pengkajian ulang terhadap detail-setail kajian ilmu-ilmu ushul (ushul tafsir, ushul hadits, ushul hadits; dan ilmu-ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah, ‘arudh, dst—pent).
Saya menyarankan metode pembelajaran yang mudah dan telah saya praktikkan sendiri, yang ternyata memilki banyak kebaikan. Metode tersebut sebagai berikut:
  1. Selama dua (2) bulan penuh, mempelajari matan Nukhbatul Fikr (ringkasan ilmu musthalah hadits karya al-hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani Asy-Syafi’i, pent) dan memahami syarhnya, matan Al-Waraqat (ringkasan ilmu ushul fiqih karya imam Abul Ma’ali Al-Juwaini Asy-Syafi’i, pent) dan matan Al-Ajrumiyah (ringkasan ilmu nahwu karya imam Muhammad Ibnu Ajrum As-Shanhaji, pent), sebagian kaedah-kaedah tafsir dan kaedah-kaedah fiqih tanpa harus mempelajari syarhnya yang panjang lebar, karena ia bisa memahaminya syarhnya secara detail dan beberapa koreksian maupun penjelasan tambahan atasnya pada pembelajaran berikutnya. Sebaiknya matan-matan ilmu-ilmu dasar ini dipelajari pada seorang ulama yang pakar sehingga mampu meringkaskan adab-adab penuntut ilmu, jalan-jalan menuntut ilmu, dan pendapat yang rajih dalam perkara-perkara yang diperselisihkan ulama.
  2. Setelah program dua bulan di atas dituntaskan dengan baik, maka selanjutnya ia berkonsentrasi penuh untuk menghafal Al-Qur’an. Setiap hari ia harus menghafal 2-4 halaman. Sehingga dalam jangka waktu Sembilan (9) bulan, ia telah menyelesaikan hafalan Al-Qur’an 30 juz. Ia menjadikan A-Qur’an sebagai wirid (bacaan rutin) harian sembari meringkas tafsirnya dari tafsir Ibnu Katsir (Tafsir Al-Qur’anul ‘Azhim, pent), tafsir Al-Baghawi (Ma’alimut Tanzil, pent), tafsir Al-Qurthubi (Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an, pent), dan tafsir Asy-Syaukani (Fathul Qadir, pent). Setiap hari ia menyetorkan hafalan wirid hariannya (misalnya 1-3 juz per hari, pent) kepada ulama yang menjadi pembimbingnya, sambil mendiskusikan sebagian pendapat para ulama tafsir. Sisa waktunya setiap hari dipergunakan untuk mengulang-ulang hafalan Al-Qur’an dengan tajwid yang baik. Ia juga menghafal sebagian matan Al-jazriyah (matan ringkas ilmu tajwid dan qira’at karya imam Abul Khair Ibnu Al-Jazri, pent). Setelah sembilan (9) bulan ia akan hafal seluruh Al-Qur’an (30 juz) dengan tajwid yang bagus dan mengerti pendapat para ulama tafsir an tafsiran yang paling kuat terhadap setiap ayat yang ia baca.
  3. Setelah itu ia mulai menghafal hadits. Dimulai dengan menghafal kitab Umdatul Ahkam (kitab hadits hukum yang memuat hadits-hadits yang disepakati oleh imam Bukhari dan Muslim, karya imam Abdul Ghani Al-Maqdisi, pent) dengan menghafal pendapat ulama yang paling kuat tentang makna setiap hadits. Jika ia menghafal 12 hadits per hari, niscaya ia mampu menghafal dan memahami isi kitab tersebut dalam waktu satu bulan saja. Untuk memahami penapat para ulama dalam menafsirkan makna setiap hadits, cukuplah ia membaca syarh yang ringkas yaitu kitab Taisirul ‘Allam (karya syaikh Abdullah Al-Bassam, pent), tidak perlu membaca kitab-kitab syarh yang panjang lebar.
  4. Untuk memperluas wawasannya di bidang hadits dan fiqih, langkah berikutnya adalah menghafal kitab Bulughul Maram (kitab hadits hukum karya al-hafizh Ibnu Hajar Al-Asqaani, pent) dengan memahami syarhnya dari kitab Subulus Salam (karya imam Ash-Shan’ani, pent) dan Nailul Authar (karya imam Asy-Syaukani, pent) serta meringkas pendapat yang paling kuat tentang para perawi yang lemah. Jika ia menghafal 20 hadits per hari, maka ia akan mampu menyelesaikan hafalan kitab ini dalam waktu dua (2) bulan. Jumlah ini tidaklah banyak, karena al-hafizh Ibnu Hajar dalam kitab tersebut tidak mencantumkan hadits sesuai teks asalnya yang panjang. Beliau hanya mencantumkan teks hadits secara ringkas pada bagian yang menjadi dalil langsung atas setiap permasalahan fiqih. Selain itu, sebanyak 410 hadits dalam kitab ini telah ia hafal terlebih dahulu dari kitab Umdatul Ahkam.
  5. Setelah itu menghafal Mukhtashar Shahih Muslim (karya imam Al-Mundziri, bukan yang karya syaikh Al-Albani, pent) dengan memahami syarhnya (dari Syarh An-Nawawi atau lainnya, pent) kemudian meringkasnya. Jumlah hadits dalam Mukhtashar Shahih  Muslim sebanyak 2200 hadits. Jika ia menghafal 15 hadits per hari, niscaya ia akan menyelesaikan hafalannya dalam jangka waktu maksimal 5 bulan.
  6. Setelah itu menghafal hadits-hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari yang tidak diriwayatkan oleh imam Muslim, dari kitab Mukhtashar Shahih Bukhari karya imam Az-Zubaidi (bukan yang karya syaikh Al-Albani, pent). Jumlahnya mencapai 680 hadits marfu’ bila tanpa penyebutan hadits yang diulang. Jika ia menghafal 15 hadits per hari, maka ia akan mampu menyelesaikan hafalan hadits-hadits Bukhari dalam jangka waktu 45 hari. Selama menghafal, ia membaca syarhnya dari kitab Fathul Bari (karya al-hafizh Ibnu Hajar Al-asqalani, pent) dengan meringkas pendapat yang paling kuat, mencatat hadits-hadits penguat dalam setiap permasalahan, mencatat dalil-dalil lain yang menjadi muqayyid(membatasi keluasan cakupan sebuah dalil) atau musharrif (memalingkan makna asal atau hukum asal sebuah dalil kepada makna atau hukum yang lain), atau mukhashish(mengkhususkan keumuman sebuah dalil), mencatat pendapat-pendapat Ibnu Hajar tentang keadaan para perawi hadits, kecatatan hadits, kaedah-kaedah fiqih dan kaedah-kaedah hadits. Meringkas Fathul Bari dengan metode ini akan memakan waktu maksimal 4 bulan.
  7. Setelah itu menghafalkan hadits-hadits yang belum disebutkan oeh imam Al-Mundziri dan imam Az-Zubaidi dalam (Mukhtashar) Shahih Musim dan Shahih Bukhari. Caranya dengan kembali kepada Shahih Bukhari dan Shahih Muslim secara langsung pada bagian hadits-hadits yang marfu’ dengan meninggalkan hadits-hadits mu’allaq, atau dengan cara kembali kepada kitab Al-Jam’u baina Ash-Shahihahin (karya imam Muhammad bin Fatuh Al-Humaidi, pent), atau kembali kepada kitab Al-Lu’lu’ wal Marjan (karya syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqi, pent). Jumlahnya sekitar 100 hadits, dan bisa dihafalkan dalam jangka waktu satu minggu.
  8. Setelah itu menghafalkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh imam Abu Daud (Sunan Abu Daud, pent) dan tidak diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim dalam kedua kitab Shahihnya. Jumlahnya adalah 2450 hadits marfu’ bila tanpa pengulangan. Jika ia menghafal 20 hadits per hari, maka ia akan mampu menyelesaikan hafalannya dalam jangka waktu 4 bulan. Sambil menghafal, ia membaca syarhnya dari kitab ‘Aunul Ma’bud (karya imam Syamsul Haq ‘Azhim Abadi, pent), sambil mencatat pendapat yang paling kuat, kecacatan hadits, dalil-dalil lain yang berfungsi sebagai syahid (hadits penguat), muqayyid, musharrif, atau mukhashish, dan catatan-catatan penting lainnya.
  9. Setelah itu menghafal hadits-hadits yang diriwayatkan oleh imam At-Tirmidzi (Sunan At-Tirmidzi, pent) namun tidak diriwayatkan oleh imam Bukhari, Muslim, dan Abu Daud. Jumlahnya sebanyak 1350 hadits marfu’ bila tanpa pengulangan. Jika setiap hari ia menghafal 20 hadits, maka ia akan menyelesaikan hafalannya dalam jangka waktu sekitar 2 bulan. Sambil menghafal, ia membaca dan meringkas penjelasannya dari kitab Tuhfatul Ahwadzi (karya imam Muhammad Abdurrahman Al-Mubarakfuri, pent) seperti cara yang ia lakukan saat membaca dan meringkas ‘Aunul Ma’bud.
  10. Setelah itu menghafal hadits-hadits yang diriwayatkan oleh imam An-Nasai (Sunan An-Nasai, pent) namun tidak diriwayatkan oleh imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan At-Tirmidzi. Jumlahnya sebanyak 2400 hadits marfu’ bila tanpa pengulangan. Jika setiap hari ia menghafal 20 hadits, maka ia akan menyelesaikan hafalannya dalam jangka waktu sekitar 120 hari (4 bulan).
  11. Setelah itu menghafal hadits-hadits yang diriwayatkan oleh imam Ibnu Majah (Sunan Ibnu Majah, pent) namun tidak diriwayatkan oleh imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, dan An-Nasai. Jumlahnya sebanyak 600 hadits marfu’ bila tanpa pengulangan. Sebanyak 500 hadits di antaranya adalah hadits dha’if, maka ia hanya perlu menghafal sisanya 100 hadits yang shahih. Ia bisa menyelesaikan hafalannya dalam jangka waktu seminggu. Ia juga harus sering membaca sisa 500 hadits yang dha’if tersebut.
  12. Setelah itu menghafal hadits-hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh imam Malik dalam Al-Muwatha’ namun tidak diriwayatkan oleh imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Jumlahnya sebanyak 50 hadits marfu’ dan ia bisa menyelesaikan hafalannya dalam jangka waktu tiga hari. Sambil menghafal, ia meringkas dari kitab Al-Muwatha’ hadits-hadits mauquf, fatwa-fatwa generasi shahabat dan fatwa-fatwa imam Malik. Selain itu, ia juga mengkaji (syarh Al-Muwatha’ dan madzhab imam Malik) dari kitab At-Tamhid dan Al-Istidzkar (keduanya karya imam Ibnu Abdul Barr Al-Maliki, pent).
  13. Setelah itu menghafal hadits-hadits yang hanya disebutkan dalam kitab Nailul Authar (Syarh Muntaqal Akhbar, karya imam Asy-Syaukani, pent). Tapi bukan menghafal dari kitabMuntaqal Akhbar (kitab matannya, karya imam Majdudin Abul Barakat Ibnu taimiyah Al-Harrani Al-Hambali, pent), karena dalam kitab syarh tersebut terdapat hadits-hadits yang selayaknya ia hafal. Hadits-hadits tersebut mestinya sudah ia catat saat pertama kali membaca kitab Nailul Authar. Jumlahnya mencapai 500 hadits marfu’ dan ia bisa menyelesaikan hafalannya dalam jangka waktu satu bulan.
  14. Setelah itu menghafal hadits-hadits dalam Musnad Ahmad yang tidak diriwayatkan oleh imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, dan Malik. Jumlahnya bila tanpa pengulangan dan tanpa syawahid (hadits-hadits penguat) dalam kitab hadits ketujuh ulama di atas mencapai 1500 hadits. Ia bisa menyelesaikan hafala tersebut dalam jangka waktu dua bulan.
  15. Setelah itu meringkas kitab Majmu’ Fatawa (36 jilid) dan Al-Fatawa Al-Kubra (5 jilid, keduanya adalah kompilasi fatwa syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Al-Harrani, pent). Hal itu bisa diselesaikan dalam waktu 4 bulan.
  16. Setelah itu menghafal matan fiqih, misalnya Zadul Mustaqni’ (karya imam Syarafudin Musa Al-Hijawi, pent) atau Ad-Durrah Ats-Tsaminah (karya imam Ash-Sharshari, pent). Fungsinya adalah untuk menertibkan dalil-dalil yang telah ia hafal dan mengetahui cara pemaparannya untuk kepentingan mengajar dan memberi manfaat kepada orang lain. Jadi bukan untuk membela madzhab (kedua matan tersebut adalah kitab untuk madzhab Hambali, pent). Matan Ad-Durrah akan memakan waktu satu bulan, adapun matan Zadul Mustaqni’ membutuhkan waktu lebih dari satu bulan.
  17. Menghafal Al-Aqidah Al-Washitiyah (karya syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, pent). Ia tidak akan menemukan kesulitan karena seluruh dalil dalam buku itu telah ia hafal sebelumnya (yaitu saat ia menghafal Al-Qur’an dan kitab-kitab hadits, pent). Fungsi menghafal kitab ini adalah menertibkan dalil-dalil untuk setiap bab (permasalahan akidah). Sambil menghafal, ia membaca syarhnya dan memperdalamnya dengan membaca kitab At-Tauhid karya imam Ibnu Khuzaimah. Setelah selesai, ia melanjutkan dengan meringkas kitab Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal jama’ah karya imam Al-Laalikai. Pada sebagian permasalahan akidah yang mengandung banyak perbedaan pendapat ulama, ia menghafalnya dari kitab Al-Aqidah Ath-Thahawiyah (karya imam Abu Ja’far Ath-Thahawi Al-Hanafi, pent) dan meringkas penjelasannya dari kitab Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah (karya imam Ibnu Abil Izz Al-Hanafi, pent). Setelah itu ia menghafal kitab At-Tauhid karya syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan meringkas syarhnya. Ia tidak akan menemui kesulitan yang berarti, karena semua dalilnya telah ia hafakan sebelumnya. Semua proses ini memakan waktu tiga bulan.
  18. Ia mencatat semua masalah yang diperselisihkan oleh para ulama dalam kitab-kitab syarh di atas. Mestinya hal itu sudah ia lakukan sejak pertama kali ia membaca kitab-kitab syarh di atas. Setelah itu ia mengkajinya secara mendalam dengan menelaah kitab Al-Mughni (salah satu induk kitab fiqih madzhab Hambali karya imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, pent), Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab (salah satu induk kitab fiqih madzhab Syafi’I karya imam An-Nawawi, pent), At-Tamhid (salah satu induk kitab fiqih madzhab Malik karya imam Ibnu Abdil Barr, pent), Nashbur Raayah (kitab takhrij hadits atas Al-Hidayah, salah satu induk kitab fiqih madzhab Hanafi karya imam Az-Zaila’i, pent), Al-Muhalla (salah satu induk kitab fiqih madzhab Zhahiri, karya imam Ibnu Hazm Al-Andalusi, pent), dan sebagian kitab induk pegangan masing-masing madzhab. Semua penuntut ilmu yang mengikuti program belajar ini wajib teribat aktif dalam kegiatan bersama; mengkaji, berdiskusi, dan menghafal sebagian hal yang diperlukan oleh setiap penuntut ilmu. Kegiatan ini membutuhkan waktu maksimal dua bulan, tergantung kesungguhan mereka saat meringkas dengan mengeluarkan perkara-perakra yang diperselisihkan oleh para ulama dalam kitab-kitab syarh di atas.
  19. Membaca kitab sejarah Al-Bidayah wan Nihayah (karya imam Ibnu Katsir Asy-Syafi’I,  sampai peristiwa tahun 760-an H, pent) dan tambahannya (peristiwa tahun tersebut sampai abad modern) dari kitab At-Tarikh Al-Islami karya syaikh Mahmud Syakir. Hal ini membutuhkan waktu dua bulan.
  20. Seluruh anggota program ini mendatangi seorang ulama mujtahid, dan dengan tekun senantiasa ‘menyetorkan’ hal terpenting yang mereka telah hafalkan, pahami, dan masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Seluruh anggota program ini juga belajar kepada ulama mujtahid tersebut beberapa ilmu yang hanya bisa dikuasai lewat belajar secara langsung kepada ulama. Misalnya Ar-Rahabiyah (matan kitab tentang ilmu warisan karya imam Ibnu Muwaffiquddin Ar-Rahabi, pent), sebagian bahasan dalam matan Al-Alfiyah (matan kitab Nahwu dan Sharaf karya imam Ibnu Malik Al-Andalusi, pent), kitab Al-Alfiyah (matan kitab ilmu hadits karya imam Al-‘Iraqi, pent), dan masalah-masalah yang sulit dalam bidang kaedah-kaedah al-jarh, at-ta’dil, dan dirasah al-asanid (kajian sanad-sanad hadits). Intinya, mereka berhasil menguasai ilmu-ilmu yang membuat mereka telah layak untuk memberi pelajaran dan fatwa. Hal ini mudah, dengan izin Allah, dan memakan waktu sekitar enam bulan.

Karya Tulis
Kegiatan terakhir, masing-masing peserta mengumpulkan hadits-hadits yang telah ia seleksi, pendapat-pendapat para ulama dan perkara-perkara sulit (rancu) yang ditemuinya, dan jawaban panjang-lebar para ulama terhadapnya. Setiap peserta menyusun hasil kajian masing-masing dalam satu karya. Setelah itu dipaparkan kepada seorang ulama untuk disetujui dan diperbaiki. Menyusun karya seperti ini pada zaman sekarang cukup mudah dengan bantuan komputer. Saya tidak hendak panjang lebar menguraikan teknisnya.
Pada akhirnya, akan lahir karya-karya tulis yang menyebutkan untuk kita pokok-pokok hadits untuk setiap induk kitab hadits di atas, lengkap dengan uraian kecacatan hadits, pendapat para ulama dalam setiap permasalahan yang diperselisihkan, fatwa para ulama mujtahid, dan catatan-catatan penting lainnya. Karya tulis tersebut adalah ringkasan kerja keras sepuluh peserta selama empat tahun belajar.
Penutup
Dengan demikian, program belajar ini memakan waktu 3 tahun 7 bulan. Selama masa tersebut, para peserta menghafal Al-Qur’an dan memahaminya dengan pemahaman yang benar dan diakui dan menghafal 9200 hadits. Setelah itu mereka mencurahkan tenaganya untuk mengajar, memberi fatwa, melakukan kajian-kajian ilmiah yang bermanfaat, mempelajari buku-buku kontemporer dan ilmu-ilmu yang lain.
Sebagai catatan penting, sekaligus untuk lebih menyemangati para calon peserta, dan mengingat-ingat akan besarnya nikmat Allah kepada saya… di sini saya akan ceritakan bahwa program belajar ini bukanlah khayalan dan mimpi belaka. Alhamdulillah, saya telah menyelesaikan sekitar 90% program belajar ini hanya dalam jangka waktu dua tahun. Saya berdoa kepada Allah semoga membantu saya untuk mampu menyelesaikannya. Allah-lah Sang Pemberi taufik.
Beberapa Catatan:
  1. Peserta yang mendapat tiga kali peringatan karena tidak menghafal atau absen (tidak hadir) dikenai sanksi: dikeluarkan dari program ini.
  2. Selama mengikuti program ini, setiap peserta tidak boleh terlibat dalam kegiatan mengajar, atau kegiatan dakwah, atau bisnis, atau hal-hal lain yang menyibukkan, termasuk menjadi imam shalat jika hal itu membuatnya sibuk dari mengikuti program ini.
  3. Selama masa pembelajaran, setelah ia menyelesaikan hafalan Al-Qur’an 30 juz, setiap hari ia harus mengulang-ulang hafalan minimal 4 halaman. Dengan demikian, ia bisa mengkhatamkan Al-Qur’an setiap empat bulan sekali.
  4. Setiap peserta diberi waktu dua minggu untuk mengulang hafalan setiap buku yang telah ia hafalkan.
  5. Agar program ini bisa diselesaikan, peserta harus diam-diam (tidak menyebar luaskan ceritanya), sehingga ia tidak akan menemui banyak kendala, orang-orang yang iri, atau orang-orang yang melemahkan semangat belajarnya jika mereka mengetahui rincian metode belajar ini.
  6. Tidak membicarakan teknis program ini meskipun kepada para ulama (yang menjadi pembimbing program), sehingga tidak muncul banyak usulan yang justru menyelisihi metode yang telah diprogramkan. Banyaknya usulan seperti itu akan menyebabkan keragu-raguan dan melemahkan semangat para peserta untuk menyelesaikan program belajar.
Demikianlah program belajar dan metode pelaksanaannya menurut saran saya. Hanya kepada Allah SWT kita memohon pertolongan. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarga, dan seluruh sahabatnya. Dan akhirnya, segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam.

Syaikh Yusuf bin Shalih Al-‘Ayiri
28 Rabi’ul Awwal 1419 H
Penyusun & Penerjemah: Muhib al-Majdi
Kajian Islam
http://www.arrahmah.com
filter your mind, get the truth

Baca Juga: